Raja Abad

Raja Abad

Seni rupa dan arsitektur pada Akhir Abad Pertengahan

Seluruh kurun waktu Akhir Abad Pertengahan di Eropa bertepatan dengan kurun waktu perkembangan kebudayaan Trecento dan kebudayaan Awal Abad Pembaharuan di Italia. Kawasan utara Eropa dan Spanyol masih terus menggunakan langgam seni rupa Gothik yang semakin halus dan rumit pada abad ke-15 sampai menjelang berakhirnya kurun waktu Akhir Abad Pertengahan. Langgam Gothik antarbangsa adalah langgam seni rupa keningrat-ningratan yang menyebar ke hampir seluruh Eropa pada dasawarsa-dasawarsa sekitar tahun 1400. Langgam seni rupa ini menghasilkan sejumlah mahakarya semisal Très Riches Heures du Duc de Berry (Buku Ibadat Harian Teramat Mewah Milik Adipati Berry).[322] Di seluruh Eropa, karya-karya seni rupa sekuler terus mengalami peningkatan jumlah maupun mutu, dan pada abad ke-15, kaum saudagar di Italia dan Flandria menjadi pelindung-pelindung yang penting bagi seni rupa. Saudagar-saudagar ini memesan pembuatan potret-potret diri mereka dalam ukuran kecil yang dilukis dengan cat minyak, dan semakin lama semakin banyak memesan pembuatan barang-barang mewah seperti perhiasan, benian-benian gading, peti-peti cassone (peti-peti mewah berukuran besar), dan tembikar-tembikar mayolika. Barang-barang mewah ini juga mencakup gerabah Hispania-Moresko yang sebagian besar merupakan hasil karya pengrajin-pengrajin tembikar Mudéjar di Spanyol. Meskipun kerabat kerajaan mengoleksi banyak sekali wadah-wadah perlengkapan makan minum, hanya segelintir benda-benda semacam ini yang sintas sampai sekarang, salah satunya adalah Cawan Santa Agnes.[323] Pembuatan kain sutra dikembangkan di Italia sehingga gereja-gereja dan kalangan elit di Dunia Barat tidak perlu lagi bergantung pada sutra impor dari Romawi Timur maupun Dunia Islam. Di Prancis dan Flandria, kerajinan tenun tapestri, yang menghasilkan kumpulan-kumpulan tapestri secorak seperti seperangkat tapestri yang diberi nama La Dame à la licorne (Tuan Putri dan Kuda Bercula), menjadi industri besar dalam bidang pembuatan barang mewah.[324]

Penempatan patung-patung pahatan pada sisi luar gedung-gedung gereja berlanggam Gothik Perdana tergantikan oleh penempatan lebih banyak patung pahatan di dalamnya, manakala makam-makam dibuat semakin indah dan benda-benda lain di dalam gereja semisal mimbar dihiasi dengan ukiran berlimpah, contohnya mimbar gereja Santo Andreas karya Giovanni Pisano. Karya-karya seni penghias altar, baik yang berupa lukisan maupun relief ukiran, menjadi benda yang lumrah dilihat orang, lebih-lebih manakala kapel-kapel samping mulai ditambahkan pada gedung-gedung gereja. Lukisan-lukisan Belanda perdana karya seniman-seniman semisal Jan van Eyck (wafat 1441) dan Rogier van der Weyden (wafat 1464) menyaingi lukisan-lukisan buatan Italia, demikian pula naskah-naskah beriluminasi buatan kawasan utara Eropa yang mulai banyak dikoleksi oleh kalangan elit sekuler pada abad ke-15. Kalangan ini juga memesan pembuatan buku-buku bertema sekuler, teristimewa buku-buku sejarah. Semenjak sekitar tahun 1450, buku-buku cetak dengan cepat menjadi populer meskipun masih mahal harganya. Terdapat sekitar 30.000 edisi berbeda dari incunabula atau karya-karya tulis yang dicetak sebelum tahun 1500,[325] yakni pada masa ketika naskah-naskah beriluminasi hanya dipesan oleh kerabat kerajaan dan segelintir orang dari kalangan lain. Gambar-gambar cetak cukil kayu berukuran sangat kecil, yang hampir semua bertema keagamaan, dipasarkan dengan harga yang terjangkau sejak pertengahan abad ke-15, bahkan kaum tani di pelosok-pelosok utara Eropa sekalipun mampu membelinya. Gambar-gambar cetak gravir (cukil logam), yang lebih mahal harganya dan lebih beragam temanya, dipasarkan di kalangan-kalangan yang lebih mampu.[326]

Arsitektur, seni rupa, dan seni musik

Pada abad ke-10, pembangunan gedung-gedung gereja dan biara mendorong munculnya arsitektur bangunan batu yang merupakan hasil pengembangan lebih lanjut terhadap bentuk-bentuk bangunan batu ala Romawi, sehingga dinamakan langgam arsitektur "Romanik". Jika kebetulan ada, gedung-gedung bata dan batu peninggalan Romawi dibongkar agar material bangunannya dapat digunakan kembali dalam pembangunan gedung-gedung baru. Bermula dari tahap coba-coba permulaan yang dikenal dengan sebutan Romanik Perdana, langgam arsitektur berkembang dan menyebar ke seluruh Eropa dalam bentuk yang seragam. Tepat sebelum tahun 1000, terjadi gelombang besar pembangunan gedung-gedung gereja batu di seluruh Eropa.[239] Gedung-gedung berlanggam Romanik memiliki dinding yang tersusun dari batu-batu berukuran raksasa, lubang-lubang pintu dan jendela dengan ambang yang melengkung membentuk setengah lingkaran, tingkap-tingkap berukuran kecil, dan (khususnya di Prancis) lengkungan langit-langit dari susunan batu.[240] Pintu-pintu masuk berukuran besar berbingkai pahatan relief tinggi yang diwarnai menjadi salah satu tampilan utama pada muka bangunan (façade), teristimewa di Prancis. Ganja-ganja tiangnya sering kali dihiasi ukiran monster-monster dan satwa-satwa khayali.[241] Menurut sejarawan seni rupa, C. R. Dodwell, "nyaris semua gedung gereja di Dunia Barat dihiasi dengan lukisan-lukisan dinding", hanya sedikit di antaranya yang masih ada sampai sekarang.[242] Bersamaan dengan perkembangan di bidang arsitektur gedung gereja, bentuk bangunan puri yang khas Eropa juga dikembangkan, dan menjadi sangat penting artinya bagi percaturan politik dan peperangan.[243]

Seni rupa langgam Romanik, khususnya di bidang kriya logam, mencapai tahap kecanggihan tertingginya dalam seni rupa langgam Maas, yang memunculkan seniman-seniman dengan ciri khas tersendiri, antara lain Nikolaus dari Verdun (wafat 1205), dan menghasilkan karya-karya seni yang nyaris tampak berlanggam klasik seperti bejana baptis di Liège,[244] jauh berbeda dari sosok-sosok hewan menggeliat pada Kandil Gloucester yang juga dibuat pada kurun waktu yang sama. Alkitab dan buku Mazmur beriluminasi berukuran besar adalah naskah-naskah mewah yang lazim dibuat kala itu, dan lukisan dinding menyemarakkan gedung-gedung gereja, sering kali mengikuti kaidah yang menempatkan lukisan bertema Penghakiman Akhir pada dinding barat, Maiestas Domini pada dinding timur, dan penggambaran kisah-kisah Alkitab di sepanjang dinding pada kedua sisi panti umat, atau pada lengkungan langit-langit memanjang seperti di Saint-Savin-sur-Gartempe, yang merupakan contoh terindah dari lukisan pada lengkungan langit-langit bangunan yang masih lestari hingga sekarang.[245]

Semenjak permulaan abad ke-12, tukang-tukang bangunan Prancis mengembangkan langgam Gothik, yang bercirikan pemakaian lengkungan langit-langit berusuk, pelengkung yang mengerucut, penopang-penopang layang, dan jendela-jendela kaca patri berukuran besar. Langgam ini lebih banyak digunakan dalam pembangunan gedung-gedung gereja dan gereja katedral, serta terus-menerus digunakan sampai dengan abad ke-16 di banyak tempat di Eropa. Contoh-contoh klasik dari arsitektur berlanggam Gothik antara lain adalah gedung gereja katedral Chartres dan gedung gereja katedral Reims di Prancis, serta gedung gereja katedral Salisbury di Inggris.[246] Kaca patri menjadi unsur penting dalam rancang bangun gedung gereja, yang masih terus menggunakan lukisan-lukisan dinding, tetapi dewasa ini hampir semuanya sudah musnah.[247]

Pada kurun waktu ini, kegiatan pembuatan naskah beriluminasi beralih dari biara-biara ke sanggar-sanggar milik umat awam, sampai-sampai menurut Janetta Benton "pada tahun 1300, kebanyakan rahib membeli buku di toko-toko".[248] Pada kurun waktu ini pula buku ibadat harian dikembangkan menjadi buku panduan beribadat bagi umat awam. Kriya logam masih tetap menjadi wujud karya seni yang paling bergengsi, dan email Limoges menjadi bahan dengan harga yang relatif terjangkau dan banyak sekali dipakai dalam pembuatan benda-benda seperti relikuarium dan salib..[249] Di Italia, inovasi-inovasi Cimabue dan Duccio di Buoninsegna, dan kemudian hari juga inovasi-inovasi dari maestro era Trecento, Giotto di Bondone (wafat 1337), kian mempercanggih dan mengentaskan lukisan panel dan fresko.[250] Meningkatnya kemakmuran pada abad ke-12 mendorong peningkatan produksi karya-karya seni rupa sekuler; banyak barang ukiran gading seperti peranti permainan (buah catur, dadu, dan sebagainya), sisir-sisir, dan patung-patung keagamaan berukuran kecil masih terlestarikan sampai sekarang.[251]

Reformasi biara menjadi isu penting pada abad ke-11, manakala para penguasa mulai khawatir kalau-kalau para rahib tidak mengamalkan aturan-aturan yang mewajibkan mereka untuk semata-mata menekuni kehidupan zuhud. Biara Cluny yang dibangun di daerah Mâcon, Prancis, pada tahun 909, adalah pelopor gerakan Reformasi Cluny, yakni gerakan reformasi biara berskala besar yang muncul sebagai tanggapan terhadap kekhawatiran kalangan penguasa.[253] Biara Cluny dengan segera tersohor sebagai biara yang sangat bersahaja dan sangat ketat dalam menjalankan tata tertib. Biara ini berusaha menjaga mutu kehidupan rohani yang tinggi dengan berlindung kepada lembaga kepausan, dan dengan memilih sendiri kepala biaranya tanpa campur tangan umat awam, sehingga dapat terus mandiri secara ekonomi maupun politik, terhindar dari campur tangan tuan-tuan besar setempat.[254]

Reformasi biara mengilhami usaha-usaha pembaharuan Gereja di luar lingkungan biara. Cita-cita luhur yang melandasi gerakan reformasi biara dibawa ke tataran lembaga kepausan oleh Paus Leo IX (menjabat 1049–1054), dan menjadi sumber ideologi kemandirian kaum rohaniwan yang berujung pada Kontroversi Investitur pada akhir abad ke-11. Kontroversi ini melibatkan Paus Gregorius VII (menjabat 1073–1085) dan Kaisar Heinrich IV, yang mula-mula mempersengketakan kewenangan mengangkat uskup. Sengketa ini berubah menjadi pertarungan gagasan terkait investitur (pengangkatan), pernikahan kaum rohaniwan, dan simoni. Kaisar menganggap urusan melindungi Gereja sudah menjadi tanggung jawabnya, dan hendak mempertahankan haknya untuk memilih sendiri uskup-uskup yang menjabat di dalam wilayah kedaulatannya, sementara lembaga kepausan dengan gigih memperjuangkan kebebasan Gereja dari campur tangan penguasa sekuler. Isu-isu ini tidak kunjung tuntas meskipun telah dicapai kompromi pada tahun 1122 yang dikenal dengan sebutan Konkordat Worms. Sengketa ini merupakan salah satu tahap penting dalam pembentukan monarki kepausan yang terpisah sekaligus setara dengan pemerintahan-pemerintahan awam. Sengketa ini juga meninggalkan dampak permanen, yakni kian kukuhnya kekuasaan para kepala swapraja Jerman sehingga merugikan kaisar-kaisar Jerman.[253]

Puncak Abad Pertengahan adalah kurun waktu terjadinya gerakan-gerakan agamawi berskala besar. Selain ikut serta dalam Perang Salib dan gerakan reformasi biara, orang juga berusaha mencari bentuk-bentuk amalan zuhud yang baru. Tarekat-tarekat baru didirikan, antara lain tarekat Sistersien dan tarekat Kartusian. Tarekat Sistersien menyebar dengan pesat pada tahun-tahun permulaan keberadaannya di bawah bimbingan Bernardus dari Clairvaux (wafat 1153). Tarekat-tarekat baru ini didirikan untuk menanggapi pandangan umat awam yang merasa cara hidup zuhud ala Benediktin tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan umat awam. Sebagaimana orang-orang yang hendak menjalani hidup zuhud, umat awam juga ingin kembali pada cara hidup zuhud eremitis (cara hidup pertapa) yang diamalkan dalam Gereja Perdana, atau mengamalkan cara hidup para rasul.[211] Kegiatan ziarah juga digairahkan. Tempat-tempat ziarah lama seperti Roma, Yerusalem, dan Compostela mengalami lonjakan peziarah, dan tempat-tempat ziarah baru seperti Monte Gargano dan Bari kian dikenal orang.[255]

Pada abad ke-13, tarekat-tarekat fakir—Fransiskan dan Dominikan—yang mengikrarkan kaul kemiskinan dan menafkahi diri mereka dengan cara mengemis, mendapatkan persetujuan dari lembaga kepausan.[256] Kelompok-kelompok keagamaan seperti kaum Waldenses dan kaum Humiliati juga berusaha mengamalkan kembali cara hidup umat Kristen perdana pada pertengahan abad ke-12 dan permulaan abad ke-13, tetapi dikecam sebagai gerakan bidat oleh lembaga kepausan. Kelompok-kelompok keagamaan lainnya bergabung dengan kaum Katari, gerakan bidah lain yang juga dikecam oleh lembaga kepausan. Pada 1209, sebuah Perang Salib dimaklumkan terhadap kaum Katari, yakni Perang Salib Albigensian. Perang Salib ini digabungkan dengan inkuisisi Abad Pertengahan, dan berhasil memberantas kaum Katari.[257]

Akhir Abad Pertengahan

Perkembangan teknologi dan militer

Salah satu perkembangan besar di bidang militer pada Akhir Abad Pertengahan adalah meningkatnya pengerahan pasukan pejalan kaki dan pasukan aswasada berperlengkapan ringan.[312] Orang-orang Inggris juga mengerahkan pasukan pemanah bersenjata busur panjang, tetapi negeri-negeri lain tidak mampu membentuk pasukan serupa dengan tingkat keberhasilan yang sama.[313] Baju zirah terus-menerus dikembangkan, dipacu oleh peningkatan daya hujam anak panah yang dilesatkan dengan busur silang, sehingga akhirnya menghasilkan zirah lempeng yang berguna melindungi para prajurit dari tembakan busur silang maupun senjata api genggam yang kala itu sudah diciptakan.[314] Senjata-senjata galah kembali menjadi senjata andalan dengan dibentuknya pasukan-pasukan pejalan kaki Flandria dan Swiss yang dipersenjatai dengan tembiang dan tombak-tombak bergagang panjang lainnya.[315]

Di bidang tani-ternak, meningkatnya budi daya domba berbulu panjang memungkinkan dihasilkannya pintalan benang wol yang lebih alot. Selain itu, penggunaan rahat sebagai pengganti luli dan gelendong untuk mengantih membuat hasil pintalan benang wol meningkat hingga tiga kali lipat.[316][AH] Salah satu wujud penyempurnaan ciptaan manusia yang kurang berkaitan dengan teknologi tetapi besar dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari adalah penggunaan kancing untuk merapatkan pakaian. Dengan menggunakan kancing, orang tidak perlu lagi merapatkan pakaian pada tubuh si pemakai dengan cara mengencangkan tali yang diloloskan melalui lubang-lubang tali atau kaitan yang terpasang pada pakaian (serupa dengan cara mengencangkan dan mengikat tali sepatu).[318] Kincir angin disempurnakan menjadi kincir menara. Bagian puncak dari kincir menara ini dapat diputar, sehingga kitiran yang terpasang pada bagian puncak itu dapat diatur menghadap hembusan angin dari arah manapun datangnya.[319] Penggunaan tanur embus, yang muncul sekitar tahun 1350 di Swedia, meningkatkan jumlah dan mutu besi yang dihasilkan dari kegiatan peleburan bijih besi.[320] Hukum paten pertama kali diundangkan pada 1447 di Venesia untuk melindungi hak-hak para pereka cipta atas barang-barang ciptaan mereka.[321]

Ilmuwan, cendekiawan, dan penjelajahan

Pada Akhir Abad Pertengahan, para teolog seperti Yohanes Duns Skotus (wafat 1308)[AG] dan Gulielmus Orang Ockham (wafat sekitar 1348),[221] memelopori aksi tanggapan terhadap skolastisisme intelektualis, dengan menentang penerapan akal budi pada iman. Pemikiran-pemikiran mereka mengetepikan gagasan "kesemestaan" menurut Idealisme Plato yang lazim dianut kala itu. Pendirian Gulielmus bahwa akal budi bekerja secara terpisah dari iman memungkinkan ilmu pengetahuan dipisahkan dari ilmu teologi dan ilmu filsafat.[304] Di bidang kajian hukum, hukum Romawi kian merambah masuk ke dalam ruang lingkup yurisprudensi yang sebelumnya dikuasai oleh hukum adat. Satu-satunya tempat yang tidak mengalami perkembangan semacam ini adalah Inggris, tempat hukum umum masih diutamakan. Negara-negara lain mengodifikasikan hukum-hukum mereka; kitab-kitab hukum diundangkan di Kastila, Polandia, dan Lituania.[305]

Pendidikan masih lebih tertuju pada pelatihan calon rohaniwan. Pendidikan dasar untuk mengenal huruf dan angka masih menjadi tanggung jawab keluarga atau imam desa, tetapi mata pelajaran sekunder trivium (trimarga, tiga cabang ilmu), yakni tata bahasa, retorika, dan logika, dipelajari di sekolah-sekolah katedral atau sekolah-sekolah pemerintah kota. Sekolah-sekolah dagang sekunder bermunculan di mana-mana, bahkan beberapa kota di Italia memiliki lebih dari satu sekolah semacam ini. Universitas-universitas juga juga didirikan di seluruh Eropa pada abad ke-14 dan ke-15. Tingkat melek aksara umat awam meningkat, tetapi masih tergolong rendah; menurut salah satu perkiraan, tingkat melek aksara mencapai 10% untuk laki-laki dan 1% untuk perempuan pada tahun 1500.[306]

Penerbitan karya-karya sastra dalam bahasa rakyat mengalami peningkatan. Pada abad ke-14, Dante Alighieri (wafat 1321), Petrarka (wafat 1374), dan Giovanni Boccaccio (wafat 1375) menghasilkan karya tulis dalam bahasa Italia, Geoffrey Chaucer (wafat 1400) dan William Langland (wafat sekitar 1386) menghasilkan karya tulis dalam bahasa Inggris, sementara François Villon (wafat 1464) dan Christine de Pizan (wafat sekitar 1430) menghasilkan karya tulis dalam bahasa Prancis. Sebagian besar karya tulis yang dihasilkan kala itu masih berupa karya-karya tulis yang bertema agama, dan meskipun sebagian besar di antaranya masih ditulis dalam bahasa Latin, mulai muncul pula permintaan untuk riwayat-riwayat orang kudus dan karya-karya tulis terkait devosi lainnya yang disusun dalam bahasa-bahasa rakyat.[305] Peningkatan permintaan untuk karya-karya tulis berbahasa rakyat ini dipicu oleh kian maraknya gerakan Devotio Moderna. Gerakan pembaharuan di bidang keagamaan ini semakin mengemuka dengan dibentuknya paguyuban Saudara-Saudara Hidup Bersama (bahasa Latin: Fratres Vitae Communis), tetapi juga menonjol dalam karya-karya tulis yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh kebatinan Jerman seperti Meister Eckhart dan Yohanes Tauler (wafat 1361).[307] Teater juga berkembang dalam bentuk pertunjukan sandiwara-sandiwara mukjizat yang digelar oleh Gereja.[305] Pada penghujung kurun waktu Akhir Abad Pertengahan, penciptaan mesin cetak sekitar tahun 1450 mendorong didirikannya balai-balai penerbitan di seluruh Eropa pada 1500.[308]

Pada awal abad ke-15, negara-negara di Jazirah Iberia mulai mendanai usaha-usaha penjelajahan di luar tapal batas Eropa. Pangeran Henrique Sang Navigator dari Portugal (wafat 1460) melepas rombongan-rombongan ekspedisi jelajah yang menemukan Kepulauan Kenari, Azores, dan Tanjung Verde pada masa hidupnya. Ekspedisi-ekspedisi jelajah masih terus berlanjut sepeninggal Pangeran Henrique; Bartolomeu Dias (wafat 1500) berhasil berlayar melewati Tanjung Harapan pada 1486, dan Vasco da Gama (wafat 1524) berlayar mengitari Benua Afrika sampai ke India pada tahun 1498.[309] Kerajaan Spanyol, hasil penggabungan Monarki Kastila dan Monarki Aragon, mendanai pelayaran jelajah di bawah pimpinan Kristoforus Kolumbus (wafat 1506) pada tahun 1492 yang akhirnya menemukan benua Amerika.[310] Kerajaan Inggris, pada masa pemerintahan Raja Henry VII, mendanai pelayaran John Cabot (wafat 1498) pada tahun 1497, yang berhasil sampai ke Pulau Tanjung Breton.[311]

Eropa pada zaman wangsa Karoling

Kerajaan Franka di kawasan utara Galia terpecah menjadi Kerajaan Austrasia, Kerajaan Neustria, dan Kerajaan Burgundia pada abad ke-6 dan abad ke-7, ketiga-tiganya diperintah oleh raja-raja dari wangsa Meroving, anak cucu Raja Klovis. Abad ke-7 adalah kurun waktu yang dipenuhi gejolak peperangan antara Kerajaan Austrasia dan Kerajaan Neustria.[94] Perang antara kedua kerajaan ini dimanfaatkan oleh Pipin (wafat 640), Pembesar Istana Kerajaan Austrasia yang merupakan orang kuat di belakang penguasa Austrasia. Anggota-anggota keluarganya kemudian hari mewarisi jabatan ini, dan bertugas selaku penasihat dan wali raja. Cicit Pipin yang bernama Karel Martel (wafat 741) memenangkan Pertempuran Poitiers pada 732, yang menghambat pergerakan bala tentara Muslim sehingga tidak melampaui batas Pegunungan Pirenia.[95][J] Wilayah Britania Raya terbagi-bagi menjadi negara-negara kecil yang dikuasai oleh Kerajaan Northumbria, Kerajaan Mercia, Kerajaan Wessex, dan Kerajaan Anglia Timur, yang didirikan oleh orang-orang Saksen-Inggris dari Eropa Daratan. Kerajaan-kerajaan yang lebih kecil di wilayah yang kini disebut Wales dan Skotlandia masih dikuasai oleh suku-suku pribumi, yakni orang Britani dan orang Pikti.[97] Wilayah Irlandia terbagi-bagi menjadi satuan-satuan politik yang lebih kecil lagi dan diperintah oleh raja-raja. Satuan-satuan politik di Irlandia ini dikenal dengan sebutan kerajaan-kerajaan kesukuan. Diperkirakan kala itu ada 150 raja pribumi di Irlandia, dengan bobot kekuasaan yang berbeda-beda.[98]

Keturunan Karel Martel, yakni wangsa Karoling, mengambil alih pemerintahan Kerajaan Austrasia dan Kerajaan Neustria melalui suatu usaha kudeta pada 753 yang dipimpin oleh Pipin III (memerintah 752–768). Menurut keterangan dari sebuah naskah tawarikh yang ditulis pada masa itu, Pipin meminta dan mendapatkan wewenang untuk melakukan kudeta dari Paus Stefanus II (menjabat 752–757). Kudeta yang dilakukan Pipin disokong dengan kegiatan propaganda yang mencitrakan raja-raja wangsa Meroving sebagai penguasa-penguasa yang tidak cakap memerintah bahkan lalim, menggembar-gemborkan segala prestasi yang pernah diraih oleh Karel Martel, dan menyebarluaskan kisah-kisah tentang betapa salehnya keluarga Pipin. Di akhir hayatnya pada 768, Pipin mewariskan kerajaannya kepada kedua putranya, Karel (memerintah 768–814) dan Karloman (memerintah 768–771). Ketika Karloman mangkat secara wajar, Karel menghalangi penobatan putra Karloman yang masih belia, dan malah menobatkan dirinya sendiri menjadi raja atas wilayah gabungan Austrasia dan Neustria. Karel, yang lebih dikenal dengan nama Karel Agung (bahasa Latin: Carolus Magnus, bahasa Prancis: Charlemagne), melancarkan serangkaian upaya sistematis untuk meluaskan wilayah pada 774 dengan mempersatukan sebagian besar negeri di Eropa, dan pada akhirnya berhasil menguasai wilayah-wilayah yang kini menjadi wilayah negara Prancis, kawasan utara Italia, dan wilayah Sachsen. Dalam perang yang baru berakhir selepas tahun 800 ini, Karel Agung mengganjari sekutu-sekutunya dengan harta pampasan perang dan kekuasaan atas berbidang-bidang tanah lungguh.[100] Pada 774, Karel Agung menaklukkan orang Lombardi, sehingga lembaga kepausan terbebas dari ancaman penaklukan oleh orang Lombardi dan mulai mendirikan Negara Gereja.[101][K]

Penobatan Karel Agung menjadi kaisar pada hari Natal tahun 800 dianggap sebagai titik balik dalam sejarah Abad Pertengahan. Penobatan ini menandai kebangkitan kembali Kekaisaran Romawi Barat, karena kaisar yang baru ini memerintah atas sebagian besar wilayah yang dahulu kala dikuasai oleh para Kaisar Romawi Barat.[103] Penobatan ini juga menjadi awal perubahan sifat hubungan antara Karel Agung dan kekaisaran Romawi Timur, karena dengan menyandang gelar kaisar, raja-raja wangsa Karoling menyatakan diri setara dengan para penguasa Romawi Timur.[104] Kekaisaran Karoling yang baru berdiri ini memiliki sejumlah perbedaan dengan Kekaisaran Romawi lama maupun dengan Kekaisaran Romawi Timur kala itu. Wilayah kedaulatan orang Franka bercorak pedesaan dan hanya memiliki beberapa kota kecil. Rata-rata warganya adalah petani yang menetap di lahan-lahan kecil. Kegiatan dagang hanya berskala kecil, dan sebagian besar dilakukan dengan kepulauan Inggris dan Skandinavia, jauh berbeda dari jaringan niaga Kekaisaran Romawi lama yang berpusat di Laut Tengah.[103] Pemerintahan Kekaisaran Karoling diselenggarakan oleh suatu majelis keliling yang senantiasa berpindah-pindah mengikuti perjalanan jelajah kaisar, serta kurang lebih 300 pegawai kekaisaran yang disebut bupati (bahasa Latin: comes, bahasa Prancis: comte, bahasa Jerman: graf), yang menyelenggarakan pemerintahan kabupaten (bahasa Latin: comitatus, bahasa Prancis: comitat, bahasa Jerman: grafschaft), yakni satuan wilayah pemerintahan di Kekaisaran Karoling. Rohaniwan dan uskup-uskup setempat dikaryakan sebagai pamong praja maupun pegawai kekaisaran yang disebut para missi dominici. Para missi dominici bekerja sebagai penilik keliling dan petugas penanggulangan masalah.[105]

Masyarakat-masyarakat baru

Tatanan politik Eropa Barat berubah seiring tamatnya riwayat Kekaisaran Romawi bersatu. Meskipun pergerakan suku-suku bangsa yang terjadi kala itu lazimnya digambarkan sebagai "invasi", pergerakan-pergerakan ini bukan semata-mata merupakan pergerakan militer melainkan juga gerak perpindahan seluruh warga suku-suku bangsa itu ke dalam wilayah kekaisaran. Pergerakan-pergerakan semacam ini dileluasakan oleh penolakan para petinggi Romawi di wilayah barat untuk menyokong angkatan bersenjata maupun untuk membayar pajak-pajak yang mampu memberdayakan angkatan bersenjata guna membendung arus migrasi.[41] Para kaisar abad ke-5 kerap dikendalikan oleh orang-orang kuat dari kalangan militer seperti Stiliko (wafat 408), Esius (wafat 454), Aspar (wafat 471), Ricimer (wafat 472), dan Gundobad (wafat 516), yakni orang-orang peranakan Romawi atau orang-orang yang sama sekali tidak berdarah Romawi. Meskipun wilayah barat tidak lagi diperintah kaisar-kaisar, banyak di antara raja-raja yang memerintah di wilayah itu masih terhitung kerabat mereka. Kawin campur antara wangsa-wangsa penguasa yang baru dengan kaum bangsawan Romawi sudah lumrah terjadi.[42] Akibatnya, budaya asli Romawi pun mulai bercampur dengan adat istiadat suku-suku yang menduduki wilayah barat, termasuk penyelenggaraan sidang-sidang rakyat yang semakin memberi ruang bagi warga suku laki-laki yang merdeka untuk urun rembuk dalam perkara-perkara politik, berbeda dari kebiasaan yang dulu berlaku di negeri Romawi.[43] Barang-barang peninggalan orang Romawi sering kali serupa dengan barang-barang peninggalan suku-suku yang menduduki wilayah barat, dan barang-barang buatan suku-suku itu sering kali dibuat dengan cara meniru bentuk barang-barang buatan Romawi.[44] Sebagian besar budaya tulis dan ilmiah di kerajaan-kerajaan baru itu juga didasarkan pada tradisi-tradisi intelektual Romawi.[45] Salah satu perbedaan penting kerajaan-kerajaan baru ini dari Kekaisaran Romawi adalah kian susutnya penerimaan pajak sebagai sumber pendapatan pemerintah. Banyak dari kerajaan-kerajaan baru ini tidak lagi menafkahi angkatan bersenjata mereka dengan menggunakan dana penerimaan pajak, tetapi dengan anugerah lahan atau hak sewa lahan. Dengan demikian, penerimaan pajak dalam jumlah besar sudah tidak diperlukan lagi, sehingga tatanan perpajakan Romawi akhirnya ditinggalkan.[46] Perang menjadi hal yang lumrah, baik perang antarkerajaan maupun perang di dalam suatu kerajaan. Angka perbudakan menurun karena pasokan berkurang, dan masyarakat pun semakin bercorak pedesaan.[47][F]

Antara abad ke-5 dan abad ke-8, suku-suku bangsa dan tokoh-tokoh baru mengisi kekosongan politik selepas tumbangnya pemerintahan terpusat bangsa Romawi.[45] Orang Ostrogoth, salah satu suku Goth, menetap di Italia Romawi pada penghujung abad ke-5, di bawah pimpinan Teodorik Agung (wafat 526). Orang Ostrogoth mendirikan sebuah kerajaan di daerah itu dan hidup rukun bersama orang-orang Italia, setidaknya sampai masa pemerintahan Teodorik berakhir.[49] Orang-orang Burgundi menetap di Galia, dan setelah kerajaannya dibinasakan oleh orang Hun pada 436, mereka mendirikan sebuah kerajaan baru pada dasawarsa 440-an. Kerajaan di daerah yang kini berada di antara kota Jenewa dan kota Lyon ini berkembang menjadi Kerajaan Burgundia pada penghujung abad ke-5 dan permulaan abad ke-6.[50] Daerah-daerah lain di Galia diduduki oleh orang Franka dan orang Briton Kelt yang mendirikan kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan Franka berpusat di kawasan utara Galia, dan raja pertamanya diketahui bernama Kilderik (wafat 481). Di makam Kilderik yang ditemukan kembali pada 1653, didapati barang-barang bekal kubur yang menakjubkan, yakni senjata-senjata dan sejumlah besar emas.[51]

Pada masa pemerintahan putra Kilderik, Klovis I (memerintah 509–511), pendiri wangsa Meroving, Kerajaan Franka meluaskan wilayahnya dan menerima agama Kristen. Orang Briton, yang masih berkerabat dengan pribumi Pulau Pretanī (bahasa Latin: Britannia) – Pulau Britania Raya sekarang ini – menetap di daerah yang sekarang disebut Bretagne.[52][G] Orang Visigoth mendirikan kerajaan di Jazirah Iberia, orang Suevi mendirikan kerajaan di kawasan barat laut Iberia, dan orang Vandal mendirikan kerajaan di Afrika Utara.[50] Pada abad ke-6, orang Lombardi menetap di Italia Utara, menggantikan Kerajaan Ostrogoth dengan sekelompok kadipaten yang sesekali memilih seorang raja untuk memerintah semuanya. Pada akhir abad ke-6, tatanan pemerintahan ini tergantikan oleh sebuah monarki yang bersifat tetap, yakni Kerajaan Orang Lombardi.[53]

Invasi-invasi membawa masuk suku-suku bangsa baru ke Eropa, meskipun beberapa kawasan dibanjiri lebih banyak suku bangsa baru dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain. Sebagai contoh, suku-suku bangsa yang menginvasi Galia lebih banyak menetap di daerah timur laut daripada di daerah barat daya. Orang Slav menetap di kawasan tengah dan kawasan timur Eropa, serta di Jazirah Balkan. Menetapnya suku-suku bangsa di suatu kawasan menyebabkan pula perubahan bahasa-bahasa di kawasan itu. Bahasa Latin, bahasa Kekaisaran Romawi Barat, lambat laun tergantikan oleh bahasa-bahasa turunan bahasa Latin tetapi berbeda dari bahasa Latin, yakni bahasa-bahasa yang kini tergolong dalam rumpun bahasa Romawi. Peralihan dari bahasa Latin ke bahasa-bahasa baru ini berjalan selama berabad-abad. Bahasa Yunani masih tetap menjadi bahasa Kekaisaran Romawi Timur, akan tetapi migrasi-migrasi orang Slav ke Eropa Timur membawa serta bahasa-bahasa rumpun Slav yang menambah keanekaragaman bahasa di wilayah kekaisaran itu.[54]

Prasangka-prasangka modern

Abad Pertengahan kerap diolok-olok sebagai "zaman kebodohan dan takhayul" manakala "fatwa pemuka agama lebih dihargai daripada pengalaman dan penalaran pribadi."[327] Olok-olok semacam ini berasal dari Abad Pembaharuan dan Abad Pencerahan, manakala para ilmuwan membanding-bandingkan budaya keilmuan mereka dengan budaya keilmuan Abad Pertengahan. Para ilmuwan Abad Pembaharuan menganggap Abad Pertengahan adalah kurun waktu kemerosotan dari budaya dan peradaban tinggi dunia klasik; sementara para ilmuwan Abad Pencerahan menganggap akal budi lebih unggul daripada iman, dan oleh karena itu menganggap Abad Pertengahan sebagai zaman kebodohan dan takhayul.[13]

Sementara pihak justru beranggapan bahwa pada umumnya akal budi sangat dijunjung tinggi pada Abad Pertengahan. Sejarawan ilmu pengetahuan, Edward Grant, pernah mengemukakan dalam tulisannya bahwa "kemunculan gagasan-gagasan rasional yang revolusioner pada Abad Pencerahan hanya mungkin terjadi jika pada Abad Pertengahan sudah ada tradisi panjang yang menjadikan pemberdayaan akal budi sebagai salah satu aktivitas manusia yang terpenting".[328] Selain itu David Lindberg pernah menulis bahwa, bertentangan dengan anggapan umum, "ilmuwan Akhir Abad Pertengahan jarang sekali mendapatkan ancaman dari Gereja dan tentunya merasa leluasa (khususnya di bidang ilmu pengetahuan alam) untuk menuruti akal budi dan hasil pengamatan ke arah mana pun ia dituntun".[329]

Olok-olok terhadap Abad Pertengahan juga terungkap dalam beberapa prasangka tertentu. Salah satu kesalahpahaman mengenai Abad Pertengahan, yang pertama kali digembar-gemborkan pada abad ke-19[330] dan masih lazim dijumpai sekarang ini, adalah prasangka bahwa semua orang pada Abad Pertengahan yakin Bumi itu datar.[330] Prasangka ini keliru, karena para dosen di universitas-universitas Abad Pertengahan pada umumnya berpendapat bahwa bukti-bukti menunjukkan Bumi itu bulat.[331] Ilmuwan-ilmuwan lain dari abad ke-19, Lindberg dan Ronald Numbers, mengemukakan bahwa "nyaris tidak ada ilmuwan Kristen pada Abad Pertengahan yang tidak mengakui Bumi itu bulat, mereka bahkan sudah menghitung perkiraan panjang keliling Bumi".[332] Kesalahpahaman-kesalahpahaman lain seperti "Gereja melarang otopsi dan bedah jenazah pada Abad Pertengahan", "pertumbuhan agama Kristen mematikan ilmu pengetahuan kuno", atau "Gereja pada Abad Pertengahan menghambat perkembangan filsafat alam", semuanya dikutip oleh Ronald Numbers sebagai contoh dari mitos-mitos yang tersebar luas dan masih saja dianggap sebagai kebenaran sejarah, sekalipun tidak didukung oleh kajian sejarah mutakhir.[333]

Abad Pertengahan – Istilah Abad Pertengahan digunakan untuk membantu di dalam menjelaskan dua zaman lain, yaitu zaman kuno dan zaman modern. Abad Pertengahan adalah suatu periodesasi dalam sejarah yang mendeskripsikan tentang Eropa dalam periode antara jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476 M hingga dimulainya era Renaissance (Abad Pembaharuan) pada abad ke-16. Tidak begitu jelas penarikan dimulainya Abad Pertengahan di Eropa ini. Beberapa sejarawan merujuk waktu terjadinya Abad Pertengahan ini dimulai pada kembali berkuasanya gereja dalam seluruh aspek kehidupan. Hal ini terjadi sejak pemahkotaan Karel Agung oleh Paus Leo III sebagai kaisar pada tahun 800 M.

Abad Pertengahan juga dianggap sebagai sebuah periode yang panjang dalam sejarah Eropa ketika nyaris tidak mengalami perkembangan apa-apa. Bahkan dalam periode ini Eropa justru dapat dikatakan mengalami kemunduran. Kemunduran ini terjadi dalam berbagai aspek kehidupan (ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan) sehingga masa ini juga disebut dengan zaman kegelapan.

Perlu dipahami bahwa jika dibandingkan dengan zaman Yunani Kuno dan Romawi Kuno, manusia telah menghasilkan karya-karya besar dalam bidang kebudayaan, baik dalam bidang seni arsitektur, sastra, filsafat, politik dan kenegaraan. Sedangkan pada Abad Pertengahan, itu tidak terjadi lagi karena disebabkan oleh Odoacer yang barbar dan dominannya pengaruh gereja Katolik dalam kehidupan bangsa Eropa.

Jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476 M ditandai dengan menyerahnya Romulus Augustus ke tangan Odoacer dari bangsa Germanik, hal ini mengakibatkan kebudayaan Yunani Kuno dan Romawi Kuno tidak berkembang karena suku bangsa Germanik tidak begitu menaruh minat dalam bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan.

Pada tahun 800 M, kondisi politik Eropa mulai mengalami perubahan. Gereja Katolik mulai tampil sebagai penguasa yang dominan, baik dalam kehidupan politik maupun keagamaan. Pada tahun itu pula, Paus Leo III memahkotai Charlemagne (Karel Agung) sebagai kaisar. Di bawah Karel Agung pula, Eropa disatukan di bawah satu kekaisaran besar yang disebut dengan Kekaisaran Romawi Suci (The Holy Roman Empire).

Selain mengemban tugas politik, Kaisar Romawi Suci juga memiliki tugas misi keagamaan, yaitu melindungi agama Katolik dan menjamin penyebarannya ke seluruh Eropa. Di dalam konteks itu, setiap kaisar harus taat pada keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Paus. Setiap kaisar di dalam lingkup Kekaisaran Romawi Suci tidak sah menjadi kaisar jika tidak mendapatkan persetujuan dan pemahkotaan oleh Paus.

Potensi yang dimiliki oleh orang-orang pada zaman Yunani Kuno dan Romawi Kuno yang umumnya terekspresikan melalui karya seni, sastra, dan ilmu pengetahuan terhenti selama Abad Pertengahan. Pada masa ini, ketaatan kepada wahyu Tuhan melalui kitab suci jauh lebih penting daripada mengejar keinginan-keinginan dan ambisi yang bersifat duniawi.

Mengejar surga atau akhirat jauh lebih penting daripada mewujudkan secara maksimal potensi diri setiap individu lewat kebahagiaan dan kesejahteraannya di dunia. Manusia dianggap hanya sekedar peziarah dunia (viat mundi). Seluruh perhatian dan kegiatan gereja diarahkan hanya untuk kepentingan akhirat. Kekuasaan gereja Abad Pertengahan yang begitu kuat, sehingga sikap taat kepada gereja yang ditunjukkan masyarakat kepada para pejabat gereja lainnya, diidentikkan dengan ketaatan kepada Tuhan.

Dengan kekuasaan besar seperti itu, sangatlah mudah bagi para pemimpin gereja berkesempatan untuk menyalahgunakan kekuasaannya dengan mengatasnamakan firman Tuhan atau kehendak Tuhan. Paus dalam hal ini juga selain sebagai pemimpin agama, merangkap pula sebagai pemimpin politik serta penguasa atas raja-raja di Eropa.

Abad Pertengahan merupakan masa di mana kekuasaan gereja banyak diwarnai oleh tindakan-tindakan yang menyimpang dari ajaran moral, terutama hal-hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan kekuasaan para pemimpin gereja.

Militer dan perkembangan teknologi

Perkembangan-perkembangan utama di bidang militer pada kurun waktu akhir Kekaisaran Romawi meliputi usaha untuk membentuk pasukan-pasukan aswasada yang tangguh, dan usaha berkelanjutan untuk membentuk berbagai macam pasukan khusus. Pembentukan satuan-satuan prajurit bersenjata berat jenis katafrak (berbaju zirah lengkap) menjadi pasukan-pasukan aswasada adalah salah satu hasil reka cipta militer Romawi yang penting pada abad ke-5. Bermacam-macam suku yang menginvasi wilayah Kekaisaran Romawi menonjolkan jenis prajurit andalan yang berbeda-beda, mulai dari pasukan pejalan kaki andalan orang Saksen-Inggris yang menginvasi Britania sampai dengan pasukan-pasukan aswasada yang merupakan bagian terbesar dari bala tentara orang Vandal dan orang Visigoth.[144] Pada permulaan kurun waktu invasi, sanggurdi belum dikenal dan digunakan untuk berperang, sehingga membatasi pendayagunaan pasukan aswasada sebagai pasukan pembidas, karena penunggang tidak mungkin dapat mengayunkan senjata dengan kekuatan penuh sambil berkuda tanpa sanggurdi.[145] Perkembangan terbesar di bidang militer pada kurun waktu invasi adalah peralihan ke pemakaian busur rakitan khas Hun sebagai pengganti busur rakitan khas Skitia yang lebih lemah dan sebelumnya lazim digunakan.[146] Perkembangan lainnya adalah peningkatan pemakaian pedang panjang,[147] dan peralihan bertahap dari pemakaian zirah sisik ke pemakaian zirah rantai dan zirah keping.[148]

Pasukan pejalan kaki dan aswasada semakin kurang diandalkan pada permulaan zaman Kekaisaran Karoling, seiring dengan kian diandalkannya pasukan aswasada khusus berperlengkapan berat. Pengerahan satuan-satuan wajib militer jenis milisi yang berasal dari warga berstatus merdeka (bukan budak belian) kian berkurang pada zaman Kekaisaran Karoling.[149] Meskipun terdiri atas sejumlah besar penunggang kuda, sebagian besar prajurit pada permulaan zaman Kekaisaran Karoling adalah prajurit pejalan kaki yang menunggang kuda, bukan aswasada yang sesungguhnya.[150] Berbeda dari bala tentara Saksen-Inggris yang masih terdiri atas pasukan-pasukan wajib militer daerah yang disebut fyrd, di bawah pimpinan pembesar daerah masing-masing.[151] Salah satu perubahan utama di bidang teknologi militer adalah kemunculan kembali busur silang, yang sudah dikenal pada zaman Kekaisaran Romawi dan digunakan kembali sebagai senjata militer pada penghujung kurun waktu Awal Abad Pertengahan.[152] Perubahan lainnya adalah pengenalan sanggurdi, yang meningkatkan daya guna pasukan aswasada sebagai pasukan pembidas. Salah satu kemajuan teknologi yang juga dirasakan manfaatnya di luar lingkungan militer adalah ladam, yang memungkinkan orang memacu kuda di medan berbatu.[153]

Abad Pembaharuan Karoling

Istana Karel Agung di Aachen menjadi pusat kebangkitan budaya yang adakalanya disebut "Abad Pembaharuan Karoling". Angka melek aksara meningkat, seiring berkembangnya seni rupa, arsitektur, dan tatanan hukum, demikian pula dengan kajian-kajian mengenai liturgi dan kitab suci. Alcuin (wafat 804), rahib Inggris yang diundang ke Aachen, datang membawa pendidikan ala biara-biara Northumbria. Cancellaria, yakni jawatan setia usaha atau kepaniteraan pada masa pemerintahan Karel Agung, menggunakan ragam aksara baru yang kini disebut ragam huruf kecil Karoling.[L] Kebijakan kepaniteraan Karel Agung ini telah memunculkan suatu ragam tulis umum yang mendorong kemajuan komunikasi di hampir seluruh Benua Eropa. Karel Agung mendukung perubahan-perubahan dalam liturgi Gereja, serta mewajibkan penerapan tata ibadat Gereja Roma dan penggunaan kidung Gregorian sebagai musik liturgi Gereja di wilayah kedaulatannya. Salah satu kegiatan utama para cendekiawan kala itu adalah menyalin, memperbaiki, dan menyebarluaskan karya-karya tulis lama, baik karya tulis keagamaan maupun karya tulis sekuler, demi kemajuan pendidikan. Mereka juga menghasilkan sejumlah karya tulis keagamaan dan buku-buku pelajaran yang baru.[107] Para ahli bahasa kala itu mengubah suai bahasa Latin dari ragam klasik warisan Kekaisaran Romawi menjadi ragam yang lebih luwes agar selaras dengan kebutuhan Gereja dan pemerintah. Pada masa pemerintahan Karel Agung, bahasa Latin yang digunakan sudah sangat menyimpang dari ragam klasiknya sehingga kemudian hari disebut bahasa Latin Abad Pertengahan.[108]